Kita mungkin sering mendengar lantunan
pujian, “Allah Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatu Lil Hawaditsi, Qiyamuhu
binafsihi, Wahdaniyah, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat …… Inilah yang
dikenal dengan dua puluh sifat wajib bagi Allah yang harus diyakini
menurut kelompok Asy’ariyah. Sebuah kelompok yang menisbatkan diri
kepada Abul Hasan Al-Asy’ari, dan mengklaim diri sebagai pengikutnya.
Benarkah ajaran tersebut menjadi akidah terakhir yang diyakini oleh Abul
Hasan Al Asy’ari?
Pada hakikatnya, kelompok yang
menisbatkan diri kepada beliau tidaklah mengikuti madzhab akidah beliau
dengan benar. Hal ini dikarenakan beliau berganti madzhab akidah sesuai
dengan fase perjalanan pencarian kebenaran sejati yang beliau lakukan.
Kelompok yang menisbatkan diri pada beliau itu hanyalah mengikuti satu
fase kehidupan beliau yang belum berakhir. Artinya bukan fase terakhir
pada akhir kehidupan beliau rahimahullah. Untuk lebih jelasnya mari kita
simak bagaimana perjalanan hidup beliau dalam mencari kebenaran.
Nama lengkap beliau adalah Ali bin
Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa
bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Adapun Abul Hasan
adalah kuniah (panggilan kehormatan) beliau. Dengan melihat kepada garis
keturunan beliau di atas, bisa diketahui bahwa Abul Hasan adalah salah
seorang keturunan Abu Musa AI-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Seorang
shababat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak meriwayatkan
hadits dan terkenal dengan keindahan suaranya dalam membaca AI-Qur’an.
Abul Hasan dilahirkan di Bashrah, salah
satu kota di Irak pada tahun 260 H (873 M). Sungguh, Allah ta’ala
telah mengaruniakan talenta yang sangat mengagumkan pada diri beliau
sejak usia muda. Beliau dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa
dan ketajaman pemahamannya. Namun demikian, beliau dikenal sebagai
pribadi yang sangat zuhud dan qana’ah. Tatkala masih berpemahaman
Mu’tazilah, beliau acapkali membela paham tersebut dan membantah siapa
saja yang menentangnya. Secara global, beliau menjalani tiga fase
kehidupan sebelum akhirnya berpijak kokoh di atas akidah Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah.
FASE PERTAMA
Sebenarnya sejak kecil, Abul Hasan
diasuh oleh ayahnya yang mencintai Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sang ayah selalu mendidik dan mengarahkannya untuk berpegang
teguh dengan AI-Qur’an dan As Sunnah. Oleh sebab itu sebelum wafat, sang
ayah berwasiat agar Abul Hasan diasuh oleh Zakaria bin Yahya. Seorang
ulama ahli hadits di zamannya. Namun sangat disayangkan, sepeninggal
ayahnya sang ibu menikah dengan seseorang yang bernama Abu Ali Muhammad
bin Abdul Wahhab Al Juba’i. Dia adalah seorang tokoh Mu’tazilah yang
cukup ternama di masanya. Tak pelak lagi, Abul Hasan banyak terpengaruh
oleh pemikiran ayah tirinya tersebut. Karenanya, sang ayah menaruh
harapan yang besar agar kelak ia menjadi penerusnya.
Sejak saat itu, beliau banyak mengenal
dan mempelajari konsep pemikiran Mu’tazilah. Hingga akhirnya beliau
menjadi tokoh besar Mu’tazilah yang sangat diandalkan oleh kelompoknya.
Beliau banyak menghasilkan karya tulis dan aktif membela madzhab ini.
Beliau membantah siapa saja yang menentang madzhab ini. Kondisi semacam
ini beliau lakoni selama beberapa puluh tahun. Hingga akhirnya beliau
menjadi seorang imam besar Mu’tazilah.
Namun, Allah ‘azza wa jalla, menghendaki
kebaikan untuknya. Pada usia empat puluh tahun, Abul Hasan meninggalkan
akidah Mu’tazilah yang selama ini diyakini kebenarannya. Perihal
taubatnya ini, beliau sampaikan di hadapan khalayak ramai seusai
pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Jami’.
Beliau menegaskan, “Di dalam dadaku ada
kerancuan terkait tentang permasalahan akidah. Pada suatu malam aku
bangun lalu mengerjakan shalat dua rakaat. Kemudian memohon kepada Allah
‘azza wa jalla supaya memberi hidayah kepadaku menuju jalan yang lurus.
Setelah itu aku pun tertidur dan bermimpi bertemu dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itulah aku mengadukan kepada beliau
tentang permasalahan yang sedang aku hadapi. Beliau pun
menyatakan,’Wajib bagimu untuk berpegang teguh dengan sunnahku.’ Saat
itulah aku terbangun dari tidurku.”
Dikisahkan pula oleh Ibnu Asakir
rahimahullah bahwa beliau menegaskan di hadapan para hadirin, “Wahai
sekalian manusia, aku menghilang dari tengah-tengah kalian selama
beberapa waktu, karena aku menjumpai beberapa dalil dan belum bisa
membedakan antara yang benar dan yang batil. Kemudian aku memohon
petunjuk kepada Allah ‘azza wa jalla. Allah pun memberikan petunjuk-Nya
supaya aku berlepas diri dari buku-buku yang pernah kutulis. Dengan ini
saya tinggalkan semua akidah yang aku yakini, sebagaimana aku
menanggalkan bajuku ini.” Sambil beliau menanggalkan bajunya.
Sejak saat itu, beliau mulai merilis
berbagai karya tulis yang membantah pemikiran-pemikiran Mu’tazilah.
Beliau juga sangat antusias dalam menjelaskan kesesatan Mu’tazilah dalam
berbagai forum. Di antara pemikiran Mu’tazilah yang beliau tegaskan
kesesatannya di hadapan umum adalah bahwa Al-Qur’an itu makhluk bukan
Kalamullah, Allah ‘azza wa jalla tidak bisa dilihat dengan pandangan
mata di akhirat kelak, dan kesesatan keyakinan Mu’tazilah lainnya.
Dalam versi yang lain, diriwayatkan
bahwa faktor pendorong taubatnya Abul Hasan adalah karena para gurunya
tidak mampu menjawab beberapa pertanyaan yang beliau disodorkan. Inilah
yang memotivasi beliau untuk mencari kebenaran yang selama ini sangat
beliau didambakan
FASE KEDUA
Setelah beliau menegaskan pengumuman
taubatnya tersebut, beliau meninggalkan kota Bashrah menuju kota
Baghdad. Pada fase ini, beliau memiliki kecondongan kepada pemahaman
ulama Ahlus Sunnah. Namun, beliau belum sepenuhnya memeluk madzhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
Saat itu, beliau masih terpengaruh oleh
pemikiran Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Orang ini adalah
gembong sekte Kullabiyah. lbnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan tentang
tokoh Kullabiyah ini, “Dialah yang menulis berbagai kitab yang isinya
membantah Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kelompok lainnya. Dia termasuk ahli
kalam dalam masalah sifat-sifat Allah. Metode yang dia tempuh mendekati
metode ahli hadits dan sunnah, namun masih memuat cara–cara yang bid’ah.
Karena dia menetapkan sifat dzatiyah (sifat Allah yang selalu melekat pada Dzat-Nya, seperti sifat maha melihat, maha mendengar, maha kuasa, dll) dan menolak sifat ikhtiyariyah
(sifat Allah yang berkaitan dengan kehendak-Nya, seperti sifat turun ke
langit dunia, berbicara kepada makhluk-Nya, dll) bagi Allah.”
Berkenaan dengan fase kedua ini, Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Abul Hasan Al-Asy’ari dahulunya
adalah seorang Mu’tazilah. Ketika keluar darinya, dia mengikuti konsep
pemikiran akidah Muhammad bin Kullab.”
Dalam Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “Al-Asy’ari dan orang-orang semisalnya berada
di antara akidah salaf dan Jahmiyah. Mereka mengambil akidah yang shahih
dari ulama salaf, namun juga mengambil prinsip-prinsip analogi dari
orang-orang Jahmiyah yang dianggap benar. Padahal, itu adalah
prinsip-prinsip yang salah.”
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “Fase kedua yang dijalani Abul Hasan Al Asy’ari adalah menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah
(sifat Allah yang masuk di akal) bagi Allah ‘azza wa jalla yaitu Al
Hayat, Al Ilmu, Al Qudrah, Al Iradah, As Sam’u, Al Bashar, dan Al Kalam.
Tapi di sisi lain, dia menakwilkan (memaknainya dengan keliru) sifat khabariyah
(sifat Allah yang datang dalam nash Al-Quran dan sunnah), seperti bahwa
Allah memiliki Wajah, Kedua Tangan, Marah, Ridha, Cinta, dan yang
semisalnya.”
Adapun akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Tauhid Asma’ Was Sifat adalah menetapkan seluruh sifat ikhtiyariyah
yang Allah dan rasul-Nya tetapkan untuk diri-Nya. Tanga melakukan
takyif (menggambarkan atau mengkhayalkannya), tamtsil (menyerupakan
dengan sifat makhluk-Nya), tahrif (menyelewengkan maknanya), dan ta’thil
(meniadakannya). Misalnya Allah ‘azza wa jalla memiliki sifat istiwa’
di atas Arsy-Nya, Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang
terakhir, dan sifat yang lainnya. Allah juga mempunyai sifat murka,
senang, ridha dan sifat lainnya yang ditetapkan oleh Rasulullah. Dan
seterusnya sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab akidah para ulama.
FASE KETIGA
Adapun fase ketiga adalah saat
kembalinya beliau kepada madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pada fase ini
beliau banyak menimba ilmu dari para ulama Ahlus Sunnah. Semisal Al
Muhadits Al Musnid Abu Khalifah Al Fadhl Al Jumahi Al Bashri, Al Qadhi
Abul Abbas Ahmad bin Suraij Al Baghdadi, dan yang lainnya.
Setelah sekian lama beliau terpengaruh
dengan paham Kullabiyah, bahkan mendakwahkannya, akhirnya beliau pun
sadar dan kembali kepada akidah yang benar. Itulah akidah Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah. Beliau menisbatkan diri kepada Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah. Beliau torehkan akidah ini dalam karya tulis beliau yang
terakhir yaitu Al-lbanah ‘an Ushulid Diyanah. Beliau mengatakan dalam
Muqaddimahnya, “Nabi datang kepada kita dengan membawa sebuah kitab
agung. Tidak ada di dalamnya kebatilan sedikit pun. Kitab yang
diturunkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Di
dalamnya, Allah ‘azza wa jalla menghimpun ilmu orang-orang terdahulu,
dan menyempurnakan berbagai kewajiban agama ini. Itulah jalan Allah yang
lurus dan tali-Nya (agama-Nya) yang kuat. Barang siapa berpegang teguh
dengannya, dia akan selamat. Siapa raja yang menyelisihinya, maka dia
telah sesat, dalam kebodohan dan kebinasaan. Allah ‘azza wa jalla telah
menghasung dalam Al-Qur’an supaya kita komitmen terhadap Sunnah
Rasul-Nya. Allah ta’ala pun berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kalian kepada Allah.” [Q.S. Al-Hasyr:7].”
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kalian kepada Allah.” [Q.S. Al-Hasyr:7].”
Sampai ucapan beliau, “Allah ‘azza wa
jalla telah memerintahkan kepada mereka supaya taat kepada Rasul,
sebagaimana mereka diperintahkan untuk taat kepada-Nya. Allah juga
menyeru mereka supaya berpegang teguh dengan sunnah Nabi-Nya,
sebagaimana memerintahkan mereka untuk mengamalkan kitab-Nya. Maka,
begitu banyak orang yang diliputi kesengsaraan dan dikuasai syaithan,
mereka membuang sunnah-sunnah Nabiyullah di belakang punggung-punggung
mereka. Kemudian orangorang tersebut berpaling menuju ajaran nenek
moyang mereka, fanatik, dan beragama dengan agama mereka. Mereka
menentang dan mengingkari sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai bentuk kedustaan mereka atas Allah ta’ala. Sehingga mereka
adalah orang-orang yang sesat dan tidak mendapatkan petunjuk.”
Kemudian beliau menyebutkan beberapa
prinsip para pelaku bid’ah dan mengisyaratkan tentang kebatilannya.
Beliau mengatakan, “Ada seseorang berkata bahwa engkau telah mengingkari
pendapat kelompok Mu’tazilah, Jahmiyah, Haruriyah, Rafidhah (syiah),
dan Murji’ah, maka beritahukan kepada kami tentang keyakinan dan agama
yang kalian anut? Katakan kepadanya bahwa keyakinan dan agama yang kami
peluk adalah berpegang teguh dengan kitab Allah ‘azza wa jalla, sunnah
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan apa yang
diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, dan ahli hadits. Kami
berpegang teguh dengannya dan sejalan dengan keyakinan Abu Abdillah
Ahmad bin Hanbal (Imam Ahmad), semoga Allah mencerahkan wajahnya,
mengangkat derajatnya, dan memperbanyak pahalanya. Dan kami menjauhi
siapa saja yang menyelisihi pendapatnya. Karena Ahmad bin Hanbal adalah
seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna.”
Di samping pengakuan Abul Hasan sendiri
tentang kembalinya beliau kepada akidah salafus shalih yang diwakili
oleh Imam Ahmad rahimahullah, ternyata tidak sedikit ulama yang
memberikan persaksian yang sama. Di antaranya adalah Ibnu Katsir
rahimahullah, yang dengan tegas menyatakan, “Fase ketiga yang dilalui
Abul Hasan adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla
tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun sebagaimana
ini prinsip Ahlus sunnah wal Jama’ah. Demikianlah prinsip yang beliau
gariskan dalam kitab Al Ibanah ‘an Ushulud Diyanah yang merupakan karya beliau yang terakhir.”
Demikian halnya Muhibbuddin Al-Khatib
rahimahullah beliau berkata, “Abul Hasan Al-Asy’ari termasuk tokoh
besar ahli kalam dalam sejarah Islam. Pada awal kehidupannya, dia
menganut paham Mu’tazilah, dengan berguru kepada Abu Ali Al-Juba’i.
Kemudian Allah memberikan hidayah kepadanya ketika beliau menginjak usia
paruh baya dan awal kematangannya. Beliau mengumumkan taubatnya di
hadapan manusia dan membeberkan berbagai kesesatan paham Mu’tazilah.
Pada fase ini beliau banyak menulis, berdebat, dan mengajar dengan
membantah paham Mu’tazilah berlandaskan metode salaf. Kemudian akhirnya
beliau benar-benar kembali kepada akidah salaf dengan menetapkan semua
sifat-sifat Allah yang wajib diimani oleh para hamba-Nya dengan
berlandaskan pada nash Al-Qur’an dan hadits.
Salah satu buktinya adalah beliau menulis sebuah kitab terakhir yang sudah banyak dibaca orang yaitu Al-lbanah ‘an Ushulid Diyanah. Para penulis biografi beliau memastikan bahwa Al lbanah adalah kitab terakhir yang ditulis oleh Abul Hasan.”
Demikianlah perjalanan panjang yang
ditempuh oleh Abul Hasan Al Asy’ari dalam mencari kebenaran. Beliau
berpindah dari satu pemahaman ke pemahaman lain yang menurutnya lebih
benar, hingga akhirnya Allah memberikan hidayah untuk menelusuri jalan
kebenaran yang sejati. Padahal sebelumnya beliau adalah tokoh utama dan
pembela madzhab Mu’tazilah. Namun, ketika beliau mengetahui kebenaran,
maka tanpa ragu dan malu beliau mengumumkan taubatnya. Taubat dari
pemahaman yang selama ini beliau yakini. Taubat yang diumumkan di atas
mimbar dan di hadapan khalayak ramai. Bahkan, beliau menjadi orang yang
paling gencar dalam membongkar kesesatan Mu’tazilah dalam berbagai
ceramah dan karya tulis. Sungguh sebuah suri teladan yang sangat baik
bagi kita semua.
Dengan ini pula, kita bisa mengetahui
bahwa orang-orang di zaman ini yang mengklaim sebagai pengikut Abul
Hasan AlAsy’ari, sejatinya mereka tidaklah mengambil akidah yang beliau
yakini kebenarannya. Karena sesungguhnya mereka mengambil akidah beliau
pada fase pertama atau kedua dalam perjalanannya mencari kebenaran yang
hakiki. Allahu a’lam